Foto dari Stuart Broad |
"Ternyata
cinta itu menakutkan. Kepuasaan seseorang tentang hal itu tidak akan
benar-benar dapat terpenuhi. Kecuali, mereka saling memantaskan apa yang sudah
mereka miliki, meskipun itu adalah hal-hal yang remeh."
Reswara
terduduk di kursi kayu, memandangi TV model 80-an yang merupakan warisan dari
kakeknya dua tahun yang lalu, sebelum kakeknya meninggal dalam keadaan
tertidur, dan tanpa diagnosa penyakit apa pun. Ditemani segelas kopi dan
sigaret di atas meja, dan juga selembar kertas yang berisikan sebuah surat dari
seorang wanita yang juga menjadi cinta pertamanya di umur 18 tahun.
Apakah
kau akan datang ke sini dan menontonku tampil di acara kampus? Aku berjanji
akan membelikan segelas kopi favoritmu itu.
-Kasih
Setelah
membaca pesan tersebut, Reswara tersenyum lepas, meletakkan kertas itu ke atas
meja, berjalan keluar menuju balkon dengan pelan agar encoknya tidak lagi
kambuh, sambil melihat foto-foto yang tertempel di dinding rumahnya. Foto-foto
yang diambil di berbagai tempat yang telah berhasil menyita banyak waktu dari
diri mereka masing-masing, dan ditukarkan dengan keindahan dari sebuah
kebersamaan, yang kemudian dicetak oleh Reswara dan ditempelkan begitu saja di
dinding rumahnya sebagai bentuk kekagumannya terhadap Kasih, serta keberadaan
kebersamaan mereka waktu itu.
Kasih,
adalah seorang perempuan yang Reswara lihat pada saat dirinya sedang menonton
sebuah konser balet di balai kota. Penari balet dengan tarian yang sangat
lepas, penuh penghayatan, penuh dengan kebebasan, dan hanya seorang Kasih yang
satu-satunya Reswara lihat dari sekian banyak penari balet di sana, yang
terlihat begitu sangat hidup. Dan tidak banyak orang bisa merasakan hal seperti
itu di dalam hidupnya. Sesuatu hal yang disukai, dan dapat dilakukan dengan
penuh rasa bangga di bawah tekanan sebuah ikatan keluarga maupun sosial adalah
hal yang langka, jawab Kasih terhadap pertanyaan Reswara saat berada di warung
dekat balai kota, tentang alasan mengapa dirinya memilih untuk menjadi penari
balet.
Perbincangan
remeh itu menjadi suatu hal yang tak terduga bagi Reswara. Karena sejak itu,
mereka jadi lebih sering bertemu hanya sekadar untuk menghabiskan waktu sore
bahkan sampai malam hari selepas mereka selesai dengan urusan
masing-masing—Kasih harus bersekolah, sedangkan Reswara harus bekerja di
bengkel milik ayahnya—dengan obrolan remeh hingga obrolan penting yang mereka
bicarakan, dan juga tak lupa membeli minuman kesukaan mereka.
Kasih
suka minum susu daripada kopi karena ia alergi kopi, sedangkan Reswara suka
minum kopi karena ia alergi susu. Tetapi terkadang mereka iseng untuk saling
bertukar minuman, yang diakhiri dengan sebuah kabar bahwa mereka saling
merasakan mual dan pusing sesampainya di rumah.
Mereka
melakukan rutinitas itu selama tiga bulan, tepat setelah Kasih lulus dari
sekolah SMA dengan nilai yang memuaskan, dan berhasil diterima di sebuah
universitas di luar kota.
Apakah
kau akan melupakanku di sini? aku sangat takut untuk itu, kata Reswara sembari
menghisap sigaretnya.
Sore
itu adalah waktu di mana sebuah jarak yang akan menghantui mereka berdua.
Terminal kota waktu itu ramai, penuh dengan orang-orang yang saling mengucapkan
selamat jalan dan selamat datang kembali, dengan membawa oleh-oleh makanan
ataupun barang yang mereka beli sewaktu di luar kota, ataupun dipenuhi oleh
penjual warung yang sudah puluhan tahun di sana. Kasih tiba-tiba tertawa, entah
mungkin karena ia melihat seorang supir bis yang sedang menggaruk bokongnya
dengan tangan kanannya, lalu mencium tangannya itu diikuti ekspresi nikmat
seperti mencium bau parfum kembang tujuh rupa, ataupun melihat wajah lucu
Reswara yang seolah-olah akan kehilangan seorang kekasihnya.
Dengan
gerakan pelan, Kasih membuka dompet dan mengambil sesuatu di dalamnya yang
kemudian ia berikan kepada Resawara. Simpanlah foto ini dengan baik, aku akan
datang untuk mengambil ini dan menaruhnya di dinding kamar kita sebagaimana
yang telah banyak kita bicarakan tentang masa depan pernikahan kita nanti, kata
Kasih yang kemudian memeluk Reswara sebagai tanda perpisahan mereka dan akan
bertemu kembali dalam kurun waktu yang tidak bisa ditentukan.
Foto
pemberian dari Kasih itu, telah disimpan baik oleh Reswara dan sudah dua puluh
tahun menempel di dinding rumahnya.
Reswara
kemudian bersandar di pintu balkon rumahnya, lalu melihat pemandangan di
sekitarnya dengan helaan nafas panjang. Deretan gunung dilapisi cahaya
dari sunset, sawah terbentang luas dengan satu gubuk berdiri tegak di
tengahnya.
Asal
kau tahu, aku sudah berhasil mendapatkan ini semua persis seperti apa yang
sudah kita bicarakan di pinggir jalan balai kota pada malam itu. Hari-hari yang
indah untuk kita, sangat-sangat indah. Dan pesan yang kau tulis di kertas itu,
aku benar membacanya dan besoknya langsung menuju ke kampus, ke tempat di mana
pada saat itu dirimu tampil sebagai penari balet yang cantik, ditemani oleh
seorang laki-laki sebagai pasangan tarian baletmu. Namun di saat aku berjalan
menuju belakang gedung, aku melihatmu bersama pasangan baletmu sedang berciuman
dan berpelukan dengan sangat mesra seperti sepasang kekasih yang sangat
bahagia.
Dan
asal kau tahu juga, pada saat itu aku membawa sebuah cincin yang aku beli dari
hasil kerjaku di bengkel selama tiga tahun, yang akan kuberikan kepadamu
sebagai bentuk keseriusan tentang hubungan kita, dengan rangkaian kata yang
sudah kupersiapkan jauh-jauh hari berdasarkan sebuah rasa cinta yang aku
miliki, dan akan aku lontarkan semua kepadamu saat itu juga, gumam Reswara di
dalam pikirannya.
Di
umurnya yang ke tiga puluh delapan, Reswara masih juga belum menikah.
Bayang-bayang dari Kasih-yang sudah menikah dengan pasangan penari balet,
sepuluh tahun yang lalu-terkadang masih saja menghantui dirinya di dalam mimpi.
Sudah banyak teman yang menyuruhnya untuk segera menikah, namun semua itu
terdengar berisik bagi Reswara. Pernikahan menjadikannya suatu hal yang
menakutkan, begitupun juga perihal percintaan.
Kasih,
kau adalah kekacauan indah yang pernah ada. Kau tak akan pernah bisa kumiliki,
dan bodohnya, aku masih saja menunggumu di sini, dengan kesendirian yang utuh
seperti keutuhan rasa cinta yang aku miliki sejak waktu itu, keluh Reswara
dengan tatapan kosong ke arah langit.
Dengan
perasaan yang tak karuan, dengan tubuh tua dan lemas itu, Reswara kemudian
kembali masuk ke ruang TV dan bersiap menonton sebuah acara tarian balet yang
diperankan oleh Kasih beserta pasangan hidupnya itu.
"Tidak
ada yang salah dalam sebuah kepercayaan. Seseorang yang terlalu bebas dalam hal
kepercayaan memang terkadang—walau tidak semua—akan merasa dirinya bodoh. Maka
dari itu, tetaplah menjadi bodoh. Maka, kau akan tahu banyak hal tentang apa
itu kebenaran yang nyata."