Murka

Murka

 

Lawu

Denyut nadiku memberontak

Setiap tetes darah siap kuhabiskan untuknya

 

Denyut nadiku bergetar hebat

Setiap pengampunan tak akan bisa meredupkannya

 

Matilah kau, mati

Dengan segala rasa bersalah yang terpatri

 

Matilah kau, mati

Dengan segala ketenangan yang tak akan pernah kau dapati

 

Matilah kau, mati

Dengan segala pertanggungjawaban yang abadi 


Kehidupan di Antara Pohon-Pohon

Kehidupan di Antara Pohon-Pohon

Pohon

Di tengah hutan yang rimbun, di mana sinar matahari hanya sesekali menembus celah daun, seorang pemuda bernama Banyu berdiri terpaku. Rasanya seperti berhadapan dengan cerminan hidupnya sendiri – gelap, padat, dan penuh misteri. Ia datang ke sini dengan harapan, atau mungkin tanpa harapan, hanya sekadar ingin menghilang dari hiruk-pikuk dunia luar. Di antara pohon-pohon ini, ia berharap menemukan sesuatu yang selama ini hilang dalam dirinya.

Banyu melangkah pelan, menelusuri jejak-jejak yang hampir tertutup dedaunan kering. Setiap langkahnya adalah gumam sunyi yang terpantul di hati. Pohon-pohon di sekelilingnya seakan menjadi saksi bisu perjalanan batinnya. Ia teringat kata-kata ibunya sebelum meninggal, "Kadang, kita harus tersesat untuk menemukan jalan pulang."

Di tengah perjalanan, Banyu bertemu dengan seorang lelaki tua yang duduk di atas batu besar, diapit dua pohon raksasa yang akarnya saling melilit seperti sepasang ular bercinta. Lelaki tua itu tampak bijaksana, dengan mata yang menyimpan ribuan cerita. Tanpa bicara, lelaki tua itu menatap Banyu, seolah menunggu pertanyaan yang sudah lama ingin dilontarkan.

"Apa yang sebenarnya kucari di sini?" Banyu akhirnya bertanya, suaranya serak oleh beban hidup yang menekan. Lelaki tua itu tersenyum, senyum yang penuh dengan misteri. "Hutan ini adalah cermin, Nak. Apa yang kau lihat, itulah yang ada dalam hatimu." Banyu terdiam, merenungkan kata-kata itu. Hutan ini penuh dengan bayangan gelap dan suara-suara aneh, mirip dengan kekacauan yang melanda pikirannya. Ia teringat masa kecilnya, bermain di sawah bersama teman-temannya, tertawa riang tanpa beban. Kini, tawa itu hanya kenangan yang terasa jauh, seperti mimpi yang perlahan memudar. "Kadang, kita perlu mendengarkan suara-suara di sekeliling kita untuk menemukan jawaban," lelaki tua itu melanjutkan. "Teriakkan pertanyaanmu, biarkan alam yang menjawab." Banyu menghela napas panjang, lalu berteriak sekuat tenaga, melepaskan segala kegundahan yang mengungkung jiwanya. "Apa yang harus kulakukan? Mengapa hidup ini terasa begitu berat?" Suara teriakannya bergema di antara pohon-pohon, seolah-olah hutan itu menelan setiap kata dengan lapang dada. Kemudian, keheningan. Hanya suara angin yang berbisik lembut di telinga, menyampaikan pesan yang sulit dimengerti. Lelaki tua itu tersenyum lagi, kali ini dengan lebih dalam. "Jawaban tidak selalu datang dalam bentuk kata-kata. Kadang, mereka hadir dalam keheningan, dalam momen-momen kecil yang tak terduga." Malam menjelang, dan Banyu duduk di bawah pohon besar yang sangat tua, yang tampak berbeda dari pohon lainnya. Daunnya berkilau dalam sinar bulan, seperti bintang-bintang yang terperangkap di antara ranting. Di sini, di bawah pohon ini, Banyu merasakan kedamaian yang lama dirindukan. Suara-suara dari alam menjadi nyanyian pengantar tidur, membawa mimpi-mimpi tentang masa lalu dan harapan-harapan baru. Banyu menyadari, perjalanan ini bukanlah tentang menemukan jawaban pasti, melainkan tentang menemukan kedamaian dalam perjalanan itu sendiri. Ia bangkit dengan perasaan yang lebih ringan, siap menghadapi dunia luar dengan hati yang lebih tenang. Esoknya, saat fajar menyingsing, Banyu meninggalkan hutan itu. Ia tahu, hutan ini akan selalu ada, menunggunya kembali jika suatu saat ia tersesat lagi. Di antara pohon-pohon itu, ia menemukan cerminan diri yang selama ini dicari. Namun, saat ia melangkah keluar dari hutan, ada sesuatu yang aneh. Di tepi hutan, ia melihat bayangan lelaki tua itu, berdiri diam dengan senyum yang sama. Lelaki tua itu mengangkat tangan, seolah-olah mengucapkan selamat tinggal. Atau mungkin, selamat datang kembali. Banyu berhenti sejenak, matanya terpaku pada bayangan itu. Ia mengerjap, dan bayangan itu hilang, seakan-akan tak pernah ada. Sebuah bisikan lembut terdengar di telinganya, "Kau belum benar-benar menemukan jalanmu, Nak. Perjalananmu baru saja dimulai." Banyu menggigit bibirnya, keraguan menyelinap kembali ke dalam hatinya. Apakah semua ini hanya ilusi? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang menantinya di luar sana? Dengan langkah berat, ia melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan itu di belakang, tetapi tidak benar-benar meninggalkannya. Dan hutan itu, dengan segala misterinya, tetap menunggu.


Liminal Space

Liminal Space

 

Ruang-waktu sangatlah terbatas, paling tidak untuk dijangkau oleh makhluk hidup seperti kita ini. Padahal sejatinya, ruang-waktu itu sendiri tak akan pernah berhenti dan tak akan pernah ada batasan sampai kapan pun dan sejauh apa pun semesta ini bergerak. 

Hal yang membuatku tersadar dan sekaligus kagum adalah sebuah perasaan cinta. Hubungan antara sebuah perasaan cinta dengan dimensi ruang dan waktu itu sangatlah nyata. Cukup dengan merenung dan memahami setiap detail dari benang-benang takdir yang dilalui, kita akan merasakan bahwa pada detik ini, ada sebuah keajaiban indah yang sedang berdansa dengan sangat anggun. 

"Love is the one thing we're capable of perceiving that transcends dimensions of time and space."

Namun tak bisa dipungkiri bahwa manusia memang diciptakan dengan sistem yang rumit dan problematik. Kita tak akan merasakan hal itu dalam keadaan tertentu.

Santailah sedikit untuk menjalani hidup. Kuyakin pada dasarnya kita tak selamanya harus terikat dan terpenjara pada kewajiban monoton duniawi. Lihatlah sekelilingmu, lihatlah dirimu sendiri. Sepersekian detik berlalu, kau telah mengabaikan sesuatu yang sedang menggebu-gebu.

Maka dari itu, luangkan waktumu sejenak. Berdansalah dengan lepas bersamanya, agar kau tak merasakan duka untuk selamanya.
Bunga

Bunga

 


Kelopak-kelopaknya mulai berguguran
Batangnya sudah berkeriput
Daun-daunnya rontok beterbangan
Bunga yang kurawat sudah layu

Beberapa kelopak kuambil dengan hati-hati
Dengan lembut, dengan kasih sayang
Sungguh malang, sungguh penuh iba
Memang sudah saatnya kau mati

Kelopak kukumpulkan menjadi satu
Kupotong kecil, kulinting bak melinting sigaret
Lalu kubakar dengan hisapan yang dalam

Kuhempaskan semua asapnya ke atas, menuju langit
Kubiarkan harum bunga itu merebak ke segala sisi
Impian yang kupupuk sejak dulu
Sudah terbang bebas di antara embun pagi

Tulisan ini tayang di KompasMuda
Suara Batin

Suara Batin

 

Foto dari saya sendiri
Gubuk itu terlihat begitu kecil, berada di tepi Sungai Serayu. Gubuk itu terbuat dari kayu pohon jati kecil yang mati, disusun ala kadarnya, dan dijerat dengan tali rafia agar bisa berdiri. Atapnya terbuat dari daun-daun pohon kelapa kering, yang kalau hujan turun sudah pasti akan bocor.

Di depan gubuk itu, Sukatro sedang jongkok memandangi aliran-aliran sungai yang tenang. Sesekali terlihat ikan-ikan kecil berenang di antara lumut-lumut tebal.

Aku ini seperti ikan-ikan kecil itu. Bebas ke sana kemari namun tidak bisa berbicara. Enak sekali menjadi mereka, tidak bisa berbicara pun ada temannya. Barangkali dulu Tuhan Allah salah memasukkan jiwaku ke tubuh manusia yang menjijikan ini, aku akan protes jika bertemu dengan-Nya nanti, pikir Sukatro.

Sayub-sayub, suara azan terdengar lirih dari arah desa. Sudah waktu ashar. Sukatro segera berdiri, berjalan menuju ke sungai untuk mengambil wudhu, lalu bergerak ke gubuk kecil yang memang dibuat olehnya hanya untuk beribadah kepada Tuhan.

Tempat ini lebih bersih daripada tempat ibadah, masjid, yang terletak di sebelah rumah pak Kaji, batinnya. Pernah suatu ketika kucing milik bu Sami berbicara kepada Sukatro bahwa ia pernah ditendang oleh pak Kaji saat ia sedang berjalan santai di depan warung makan bu Sami.

Dasar kucing jelek, bikin tidak nafsu makan, kata pak Kaji. Badannya terasa sangat sakit, padahal ia sedang mengandung lima bayi yang hampir lahir. Aku tak mengerti kenapa pak Kaji, orang yang selalu menjadi imam di masjid melakukan itu kepadaku, lanjutnya sembari menangis di hadapan Sukatro.

Ada lagi yang berbicara kepada Sukatro, seekor tokek jantan yang berada di pohon mangga dekat masjid. Ia bilang, kemarin malam ia melihat pak Kirmo pergi ke dalam masjid. Setelah beberapa menit, pak Kirmo keluar dari masjid dan saku celananya terlihat begitu tebal.

Tokek itu memanggil pak Kirmo dengan keras dan berharap kepada pak Kirmo, orang yang menjabat sebagai bendahara dan sering menjadi muazin di masjid itu, menunjukkan apa yang ada di sakunya. Tapi ia justru dilempari batu oleh pak Kirmo. Berisik kau tokek sialan, dasar hewan terkutuk, kata pak Kirmo.

Lalu hari ini, toa masjid itu bersuara, yang tak lain dan tak bukan adalah suara pak Kirmo, bahwa kotak amal masjid sudah kosong telah habis dicuri orang. Kehilangan ini tidak cuma satu atau dua kali, tapi sudah lima kali terjadi.

Sukatro berpikir, bahwa tempat yang suci tidak seharusnya dipenuhi dengan orang-orang kotor. Mereka tidak kenal dengan kata taubat, atau bahkan kata suci itu sendiri. Kata taubat hanya dijadikan formalitas, dengungan palsu, agar mereka terlihat bersih dan suci di depan orang-orang.

Maafkan semua ciptaan-Mu ini, Tuhan, batin Sukatro. Ia lalu bersiap untuk beribadah sholat.

***

“Kotak amal sudah beberapa kali kebobolan. Siapa pelakunya?”

“Tidak tahu, pak Kaji. Tetapi tadi pagi, saya melihat Sukatro sedang berada di belakang masjid. Ia menatap pohon mangga agak lama, kemudian pergi. Apa mungkin pelakunya Sukatro?”, pak Kirmo menjawab dengan yakin.

“Orang bisu itu? Sungguh biadab sekali kelakuannya. Kalau begitu, kita cari saja dia. Kalau perlu, geledah rumahnya. Panggil semua warga RT sini, kita grebek rumah Sukatro malam ini juga, Kirmo.”

***

Setelah selesai beribadah, Sukatro berniat untuk pulang ke rumah karena hari sudah sangat sore.

Jarak dari gubuk ke rumahnya sedikit jauh. Melewati pohon-pohon pinus, lalu air terjun Curug Pitu, lalu sawah milik pak Kaji, baru nanti sampai rumahnya di sebelah sawah itu.

Sukatro mulai berjalan dengan santai. Hawa dingin mulai terasa, menyelimuti kulitnya yang cokelat, berwarna sawo matang lebih tepatnya. Badannya yang kecil dan berisi, dengan tinggi 160 sentimeter dan berat 90 kilogram, membuatnya tak terlalu merasa kedinginan.

Mungkin jika dia kurus kerempeng, tak berisi seperti tengkorak hidup kata orang-orang, mungkin sudah kedinginan dan sering pulang lebih awal dari gubuk.

Baru beberapa meter Sukatro meninggalkan gubuk itu, mungkin sekitar 100 meter, ia mendengar suara yang memanggilnya lirih. Bulu kuduknya merinding, apa mungkin itu setan alas yang biasa dibicarakan oleh warga? Atau mungkin ikan-ikan di sungai itu? Atau mungkin pohon pinus yang sekarat, terbelah menjadi dua akibat angin besar yang terjadi beberapa hari ini?

“Sukatro … Sukatro …. Temuilah aku di gubuk malam ini juga. Doamu untuk bertemu denganku akan kukabulkan. Kembalilah malam ini, wahai Sukatro.”

Sukatro berhenti melangkah. Ia menghadap ke langit, melihat daun-daun pinus bergoyang dengan damai. Memang, sewaktu beribadah tadi ia berdoa agar dirinya bisa dipertemukan dengan Tuhan. Secepat inikah doaku dikabulkan?

“Apakah Kau janji kepada hamba-Mu ini? Apakah Kau tidak akan mengingkarinya?,” tanya Sukatro dalam hati.

“Aku tidak akan pernah mengingkari janji kepada umatku sendiri. Kembalilah ke gubuk tadi, Sukatro. Aku akan menjemputmu,”.

Sukatro mengangguk, masih tidak percaya apa yang sudah ia dengar. Apakah benar itu Tuhan, atau malaikat, atau setan alas, ia tetap mengiyakan.

Jika memang nantinya setan alas yang berbicara, ia akan memenggal kepala setan alas itu. Persetan, memang setan, dengan setan alas—yang katanya berwujud mengerikan, berbadan besar dengan bulunya yang lebat, matanya merah melotot, tangan dan kakinya yang besar dengan kuku yang panjangnya dua meter—yang disebut genderuwo oleh warga itu. Yang jelas, ia akan datang malam ini untuk memenuhi janjinya.

***

Suara teriakan-teriakan memborbardir, memecah keheningan malam itu. Sumpah serapah dan kata-kata kutukan terdengar begitu sangat jelas; dasar anak pelacur, anak haram, anak terkutuk, orang kafir, bisu biadab, kau pencuri, kau pasti akan masuk neraka.

“Mau ke mana kau, Sukatro?!”

Suara paling keras itu terdengar tidak asing bagi Sukatro. Tidak salah lagi, itu suara pak Kaji. Seperti lolongan anjing, batinnya.

Sukatro memberhentikan langkahnya, membalikkan badannya lalu menatap pak Kaji beserta para warga yang sedang mengejarnya.

“Tuhan telah menungguku di sana. Dia berjanji akan menjemputku malam ini. Maka dari itu, aku juga harus menepati janjiku untuk bertemu dengan-Nya di tengah hutan gunung Jaran ini,”. Jari telunjuk Sukatro mengarah ke hutan gelap itu.

Pak Kaji beserta para warga mendadak kaku, diam di tempat. Mereka saling menatap satu sama lain, tak percaya apa yang sudah mereka dengar tadi.

Sukatro, pemuda yang sedari kecil sudah didiagnosa sebagai orang bisu, tiba-tiba saja berbicara. Sukatro, yang tadi masih terlihat di hadapan mereka, sudah hilang ditelan gelapnya hutan gunung Jaran itu.

***

“Amin ….”

Semua orang bergegas membubarkan diri, meninggalkan tanah kuburan desa. Hanya juru kunci dan penggali kubur, pak Dakoh dan pak Badri yang tetap duduk di pinggir salah satu kuburan baru itu.

“Asal kau tahu, Bad, Sukatro memang tidak pernah bersuara lewat mulutnya. Akan tetapi, suara batinnya lebih keras dan lebih lembut dari semua orang di desa ini.”

Pak Dakoh bangkit dari duduknya, berdiri tegak dengan kedua tangan menengadah ke atas.

“Mari kita benar-benar mendoakannya, seperti Sukatro yang selalu mendoakan kita semua saat ia sedang duduk di halaman rumahnya, seperti ia mendoakan kita agar diberi ampunan oleh Tuhan Allah atas semua dosa yang kita lakukan, seperti pengorbanan yang ia minta agar semua dosa orang di desa ini dipanggul oleh dirinya seorang. Mari doakan dengan benar, tidak seperti doa palsu orang-orang desa tadi, yang dulu selalu menyumpahi dan mengutuk Sukatro dengan mengatasnamakan agama, yang bahkan agama mana pun sejatinya tidak mengajarkan hal buruk itu. Dan aku yakin, Sukatro sudah memaafkan segala bentuk fitnah yang sudah ia alami.”

Pak Badri pun berdiri, ikut menengadahkan kedua tangannya ke atas. Tangisannya mulai mengalir di kedua pipinya yang sudah keriput karena teringat saat pertama kali ia menemukan jasad Sukatro terbaring kaku di pinggir sungai di dalam hutan gunung Jaran itu.

“Ya, aku pernah mendengarnya juga, Dakoh. Pernah suatu ketika Sukatro berjalan melewati kuburan ini dan menyapaku dengan senyuman lebarnya saat diriku sedang duduk beristirahat di bawah pohon beringin ini. Dia tidak mengatakan apa pun.

“Namun aku menangkap suara lembut yang begitu menenangkan hati saat menatap matanya. ‘Tuhan, lapangkanlah hati pak Badri. Beri ia kesabaran sejati. Maafkanlah istrinya beserta selingkuhannya, yaitu pak Kaji. Masukkanlah ia ke dalam surga untuk orang-orang yang sabar terhadap ujian dari-Mu’, seperti itulah yang kudengar. Ia lalu membungkuk sebagai tanda permisi dan pergi ke arah hutan.”

Pak Badri segera mengusap air matanya. Ia lalu memandang ke arah kuburan Sukatro dan mengangguk dengan pelan.

“Ya, Dakoh. Aku setuju. Mari kita doakan Sukatro dengan benar.”

Pasir

Pasir

 


Serbuk-serbuk kecil mengkilat menyilaukan mata

Bayang-bayang tubuhku sudah tak lagi terlihat

Begitu cerahnya langit menghilangkan semuanya


Aku menangis lirih

Burung-burung di langit tertawa riang ke arahku

Segera kuusap air mata di pipi ini


Angin sejuk seketika menerpa kulitku yang kasar 

Tulang belulangku menjadi teras dingin tak karuan

Aku tak bisa berdiri lagi 


Kulihat burung-burung gagak masih tertawa riang di atas sana

Aku mencoba merangkak pelan sekuat tenaga

Melewati pegunungan pasir yang tersisa 

Namun serbuk pasirnya tak pernah membiarkanku lewat begitu saja


Sampai kapan pun, aku tak akan bisa pergi

Sampai aku tersadar, tak ada lagi serbuk pasir yang tersisa untuk kulewati


Tak ada lagi sebuah ironi yang harus dihadapi

Tak ada lagi imajinasi keindahan di dalam mimpi

Karena pada akhirnya, aku pun akan mati

Dengan kedua tangan yang tak pernah terpatri


Puisi ini tayang di Kompasiana