Di sebuah sudut kota yang tak pernah sepi, di mana deru kendaraan dan suara manusia bersatu dalam simfoni kehidupan, aku duduk di bangku taman yang sudah usang. Di sekelilingku, orang-orang berlalu-lalang, terjebak dalam rutinitas yang monoton. Mereka tampak sibuk, seolah dunia ini hanya milik mereka. Dalam keramaian itu, aku merasa seperti bayangan, tak lebih dari sekadar penonton dalam panggung sandiwara yang tak pernah berakhir.
Hari itu, langit mendung, seolah mencerminkan suasana hatiku.
Here’s to Starting Over
Suara kerasnya mulai terdengar dengan lembut. Melodi lembutnya mengalun, dengan kata-kata indah yang mampu menamparku dengan realitas yang pahit.
"Selamat untuk memulai kembali," katanya. Namun, di mana kesempatan itu ketika kita terjebak dalam kesalahan yang sama berulang kali?
Di sebelahku, seorang ibu tua duduk dengan wajah penuh keriput, matanya kosong, seolah menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Di hadapannya, seorang pemuda dengan ponsel canggihnya, terbenam dalam dunia maya, seolah tak peduli dengan realitas di sekitarnya.
"Selamat untuk memulai kembali," bisikku, "tapi siapa yang peduli dengan kesempatan itu ketika kita lebih memilih untuk terjebak dalam ego kita sendiri?"
Di sudut lain, sekelompok remaja bercanda, tertawa lepas, seolah hidup ini hanya untuk bersenang-senang. Mereka berbicara tentang Tuhan, tentang iman, tetapi dalam setiap tawa, aku mendengar bisikan yang lebih dalam.
"Apakah Engkau hanya menciptakan kami untuk bersenang-senang? Atau mungkin, Engkau hanya ingin melihat kami terjebak dalam kebodohan?" pikirku. Seolah Tuhan adalah penonton yang tak berdaya, menyaksikan drama kehidupan yang penuh dengan kepura-puraan.
Aku teringat pada ajaran-ajaran yang sering kudengar. "Cintailah sesama manusia," katanya. Namun, di mana cinta itu ketika kita lebih memilih untuk menghakimi satu sama lain? Di mana kasih sayang ketika kita terjebak dalam egoisme yang menggerogoti hati?
"Selamat untuk memulai kembali," ulangku dalam hati, "tapi sepertinya kita lebih suka berputar dalam lingkaran yang sama." Lagu itu terus berlanjut, dan aku merasa seolah terjebak dalam irama yang tak berujung. "Kita semua berhak untuk memulai kembali," katanya.
Namun, di mana keadilan bagi mereka yang terpinggirkan? Di mana harapan bagi mereka yang terjebak dalam kesulitan? "Apakah Engkau hanya menciptakan kami untuk saling menyakiti?" tanyaku dalam hati, saat bayangan-bayangan itu menari di pikiranku.
Saat senja mulai merayap, aku bangkit dari bangku taman itu. Langit yang tadinya kelabu kini berwarna jingga, seolah mengingatkan kita bahwa setiap akhir adalah awal yang baru. Namun, di dalam hatiku, aku tahu bahwa tidak semua orang akan melihat keindahan itu.
"Selamat untuk memulai kembali," kataku pada diriku sendiri, "tapi mungkin kita perlu belajar untuk melihat lebih dari sekadar diri kita sendiri."
Dengan langkah yang berat, aku meninggalkan taman itu, membawa harapan yang saling berkelindan. Mungkin, suatu hari nanti, kita akan benar-benar memahami makna dari memulai kembali. Mungkin, suatu hari nanti, kita akan belajar untuk mencintai tanpa syarat, tanpa ego yang menghalangi.
Namun untuk saat ini, aku hanya bisa tersenyum pahit, menatap langit yang mulai gelap, dan berharap bahwa ada cahaya yang akan memandu untuk keluar dari kegelapan ini.
Di ujung jalan yang tak berujung, aku melangkah pergi, meninggalkan jejak yang samar, seolah menunggu untuk ditemukan kembali.