Sakit itu Sudah Hilang

Foto dari CDD20 di pixabay

Mungkin, dari setiap ketukan musik yang terdengar, dari setiap gelombang suara yang melayang dan dengan pelannya masuk ke telinga, hanya itulah hal yang menenangkan pikirannya. Namun dengan hatinya? Tidak benar-benar berfungsi dengan baik. Atau mungkin, memang sudah tidak berfungsi lagi.

Ia hanya terdiam, diam membatu dan tak merasakan apa pun dari apa yang seharusnya ia rasakan. Pikirannya hanya mengikuti suara musik yang ia dengar. Jika musik sudah mulai memasuki bagian akhir, ia mulai panik. Dengan sesegera mungkin ia bersiap memutar ulang musik yang sudah satu jam lamanya ia dengar semenjak rintik hujan menyerbu atap rumahnya.

Apakah diriku sudah serusak ini? Apakah benar hatiku sudah tak bisa lagi merasakan apa pun? Bagaimana bisa ini terjadi? Apa yang harus aku lakukan?

Bagi sebagian orang, hal ini adalah hal yang lumrah dirasakan oleh seseorang ketika menginjak umur 20 tahun. Namun baginya, bagi seorang laki-laki sepertinya, apalagi anak pertama dari keluarga yang sangat-sangat jauh dari batas mampu dalam hal ekonomi dan jauh dari kata keluarga harmonis, tuntutan kehidupan yang ia jalani sungguh tak kenal ampun. Menghardik Tuhan mengapa ia telah dilahirkan dengan dunia yang seperti itu adalah satu-satunya cara yang sedikit menyenangkan dan menenangkan baginya.

Ia berpikir, mungkin sudah saatnya ia ke psikolog untuk konsultasi tentang kesehatan mentalnya. Akan tetapi ia sadar, ke psikolog juga butuh biaya yang mungkin tidak sedikit karena harus terus-terusan berkonsultasi. Namun di sisi lain, ia juga berpikir apa yang akan ia terima nantinya hanya berupa sebuah template kata-kata bijak, kata-kata motivasi, kata-kata mutiara tentang bagaimana mencintai hal-hal kecil di kehidupan agar bisa menjalani hidup yang lebih baik, yang di mana dirinya pun sebenarnya sudah membacanya beratus bahkan beribu-ribu kali di buku ataupun di internet. Sebuah omong kosong, katanya.

Berbagai cara sudah ia lakukan, tapi hasilnya tetap nihil. Kecuali hanya satu hal, mendengarkan musik. Dan hanya musik.

Ia kemudian tersenyum. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba tersenyum, jika ditanyakan maka jawabannya sudah pasti tidak tahu. Tidak benar-benar tahu. Tak ada orang yang tahu dari apa yang dirasa dan dipikirnya.

Dengan sebatang rokok di tangan kirinya, ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya. Berdiri menatap foto kecilnya di dinding kusam itu. Ia mulai bergerak, menari tak tentu arah. Musik yang ia dengar, membuat dirinya bergetar hebat. Ketenangannya menggetarkan tubuhnya. Hebat.

Lalu, tanpa disadari olehnya, tangan kanannya tiba-tiba saja sudah memegang benda yang sudah ia buang dan ditanam di belakang rumah. Tak ingat kapan ia kembali mengambilnya, yang jelas, perasannya senang tak karuan. Kesedihan, kecemasan, dan ketakutan yang selama ini ia rasakan hilang begitu saja ketika memegang benda itu.

Ia kembali menari. Tubuhnya menggeliat ke segala arah dengan lenturnya. Sungguh tenang. Rokok di tangan kirinya ia hisap perlahan, dan membuang asapnya ke langit dengan damai. Benda di tangan kanannya ditempelkan di bawah dagu. Ia dengan cepat menarik pelatuknya.

Musik mulai memasuki bagian akhir, dan kemudian berhenti. Ia sudah tenang. Ia tak sakit lagi. Sekarang, ia tak perlu takut akan hal apa pun, lagi. 

1 komentar