Ternyata pikiranku salah, aku belum mati, aku masih merasakan diriku mengambang konstan, tidak bergerak sedikitpun, hanya mengambang. Aku memberanikan diriku untuk membuka mata dengan penuh rasa takut. Bagaimana jika setelah aku berhasil membuka mata, tiba-tiba ada pocong di depanku, atau kuntilanak, atau genderuwo, atau bahkan macan yang siap mencabik-cabik diriku, ataupun mungkin malaikat maut yang sudah bersiap menyapaku dan kemudian membawaku untuk bertemu dengan-Nya? Aku tak akan peduli nantinya seperti apa, aku hanya butuh untuk membuka mataku dan melihat apa yang ada di sekitarku, gumam diriku.
Guncangan besar itu berubah menjadi sebuah tempat yang di dalamnya terdapat berbagai macam ruangan. Ruangan-ruangan itu berjejer sangat panjang dan sangat luas, dan di dalamnya terputar sebuah adegan seperti film pendek yang biasa kita lihat di Youtube atau di media sosial mana pun. Bajingan, aku lebih memilih melihat malaikat maut di depanku daripada harus melihat diriku sendiri di setiap ruangan itu, kataku dengan ekspresi sedikit tertawa.
Di sana, diriku bagaikan pemeran utama di film pendek itu sendiri. Aku dapat melihat apa yang sudah pernah kualami sejak aku kecil. Aku pernah hampir mati lebih dari tiga kali; jatuh dari sepeda di jalan yang menurun dengan kecepatan tidak normal sehingga mendapatkan luka mulai dari bibir sobek dan lidah yang berlubang, yang harus dijahit agar bisa menyatu lagi, darah beku di kepala dalam bentuk benjolan yang harus dikeluarkan melalui jarum suntik, dan luka-luka lecet lainnya yang bersarang di bagian tubuhku; sesak nafas di malam hari yang membuatku segera dilarikan ke IGD berkali-kali dan mendapatkan bantuan alat pernapasan — bagaikan seorang astronot pada saat memperbaiki pesawat luar angkasanya — dari rumah sakit untuk sementara waktu; dua kali hanyut di sungai di saat aku memberanikan diri untuk berenang, dan berharap waktu itu juga aku tiba-tiba menjadi perenang profesional yang banyak prestasi, tapi realita memukulku keras, dan aku hanyut di sungai. Namun, malaikat maut menyelamatkanku dengan cara tidak mencabut nyawaku. Tetapi, di sisi lain, aku jengkel kepadanya sebab tak mau mencabut nyawaku dan membiarkanku menjalani hidup sampai sekarang ini. Jika nanti aku bertemu dengannya, aku yang akan lebih dulu mencabut nyawanya, kataku dengan nada meledek.
Sedikit demi sedikit, dengan perlahan, aku bergerak menjelajahi tempat itu, mencari-cari apa yang membuatku harus bergerak. Sekilas, terlihat ada tiga ruangan yang redup, dan membuat diriku tertarik untuk melihatnya. Ruangan itu memutarkan film pendek berupa kejadian yang mungkin sangat-sangat membuatku marah, kecewa, sekaligus sedih, dan mungkin membuatku akhirnya tertawa lepas. Dan ketiga ruangan itu sedikit berbeda dengan ruangan lainnya — karena temboknya bukan putih melainkan abu-abu.
Ruangan satu, memutarkan sebuah adegan pada saat ayahku sendiri sering melakukan kekerasan di dalam rumah tangga kami. Pulang dalam keadaan mabuk, lalu tanpa alasan yang logis langsung menghajar ibuku seperti menghajar seorang maling yang tertangkap basah karena ketahuan mencuri celana dalam seorang waria, dan aku berada di pojok kamar, terduduk kaku. Alasan logis itu pun datang, kekerasan itu terjadi karena dipicu oleh keahlian ibuku dalam menangkap kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh ayahku sendiri. Dan kemudian, hukum berlaku dengan semestinya. Seseorang yang main hakim sendiri itu berhasil dijebloskan ke penjara. Ayahku sendiri menjadi seorang narapidana dalam kurun waktu enam bulan, membiarkan kami berdua menikmati hidup tanpa ada sosoknya bersama kami.
Ruangan kedua, ruangan yang paling aku benci seumur hidupku. Dan mungkin jika adegan itu tidak berjalan dengan lancar, bisa saja aku membenci Tuhan dan bersumpah tidak akan pernah menyembah-Nya lagi. Aku melihat seorang wanita terkapar lemas di dalam kamar, dengan keadaan mulut penuh dengan busa. Tangan kanannya menggenggam sebuah gelas yang airnya sudah tertumpah di atas kasur, dan tangan kirinya menggenggam bungkusan kecil bertuliskan “Mao Wang” yang dapat dibeli di warung-warung kecil. Ibuku, dengan mengikuti egoisme dirinya sendiri, meminum racun itu. Dengan sigap, tanpa basa-basi, aku memanggil bapakku dan langsung membopongnya ke atas motor dengan tujuan langsung ke IGD. Di jalan, dengan perasaan sedih bercampur bangga, aku bagaikan seorang presiden yang di mana semua jalan ditutup dan hanya bisa dilalui oleh aku dan keluargaku. Namun perasaan itu tak berlangsung lama. Setelah sesampainya di IGD, diriku tidak dapat merasakan apa pun selama beberapa waktu. Diriku hanya seperti orang yang menyisakan tubuh yang terduduk lemas, tidak ada nyawa di dalamnya, tidak ada kehidupan di dalamnya, namun masih saja bernafas. Perasaan itu hilang seketika bebarengan dengan sadarnya ibuku yang setelah sekian jam terbaring, dengan selang kecil — yang selalu diisi cairan susu putih tanpa henti oleh dokter dan kemudian ibu memuntahkan semua cairan itu secara terus menerus — yang masuk ke dalam hidungnya. Oh Tuhan, kau memang tak mau untuk dibenci oleh orang sepertiku, dan dengan senang hati aku bersumpah, aku akan selalu menyembahMu selamanya, kataku sambil menghela nafas panjang.
Ruangan ketiga, diperankan oleh diriku sendiri. Segala hal yang aku lakukan di dalam ruangan itu adalah hal yang mungkin kebanyakan tidak pernah aku sukai. Dengan keterpaksaan itu, tak tahu bagaimana caranya, diriku dengan santai dapat menikmatinya. Mulai dari keadaan di mana aku bersekolah, mengenal sebuah lingkungan yang baru, mengenal orang-orang yang baru, ataupun mengenal sebuah perasaan yang biasa disebut dengan cinta. Terlepas dari itu semua, hidupku sungguh tidak bebas — terikat oleh sesuatu yang ada di sekitarku, keluarga, teman, ataupun orang-orang asing. Tertuntut sesuatu hal yang baik menurut mereka, yang bahkan sejatinya tidak baik untuk diriku, namun diriku memaksakan hal baik itu agar menjadi hal baik untuk diriku sendiri.
Menyesuaikan segala hal yang datang berdasarkan egoisme mereka merupakan makanan sehari-hari bagiku. Rasanya ingin memuntahkan semua itu di dalam diriku, tapi tidak bisa. Makanan itu sudah tercerna menjadi protein dan energi di dalam tubuhku, dan tahi yang aku keluarkan di saat aku berjongkok di atas bebatuan sungai itu adalah hal baik yang aku yakini. Ingin rasanya untuk tidak hidup, dan juga tidak mati.
Apakah semua yang terjadi dan semua yang mereka lakukan terhadapku itu salah? Jelas tidak, karena itu juga termasuk bagian dari sesuatu yang relatif. Aku akan tetap mendukungnya, dan membiarkannya tetap mempercayai apa yang mereka percayai dan yang mereka ingin lakukan.. Menurutku, kebebasan adalah hal yang harus diutamakan. Memilih area abu dari hidup yang mungkin hanya terdiri dari hitam dan putih adalah pilihan yang tepat bagiku, menurut versiku sendiri. Tidak tahu alasan mengapa aku bisa memilih itu, yang jelas, aku merasakan sebuah dorongan dari diriku sendiri menuju ke sebuah ketenangan yang utuh.
Dalam keadaan terpuruk, merasa kacau dan berantakan, kebanyakan orang merasa dirinya adalah orang yang paling tidak berguna, tidak pantas untuk hidup, dan membayangkan kematian adalah sesuatu hal yang sangat-sangat indah — berharap bahwa kekacauan akan langsung seketika berhenti ketika sudah mati. Aku, sudah pernah berpikiran begitu ketika sedang berada di suatu tempat yang sepi, tenang, sejuk, dingin, dan gelap. Tempat itu tinggi, menjulang ke atas bagaikan ingin menyentuh langit, lalu keluar melalui atmosfer dan mengambang di ruang hampa, menuju ke kerumunan benda langit yang mungkin sedang melakukan pertunjukan musik. Setelah berhasil menuju ke tengah kerumunan itu, ia ikut bernyanyi dan menari — bagaikan seseorang yang baru saja dan untuk pertama kalinya mendapatkan suatu anugerah indah dari Tuhan tentang rencana utuh yang berhasil dicapai dan harus dirayakan — bersama bintang-bintang dan galaksi yang mungkin sejak jutaan, milyaran, atau bahkan triliunan tahun sudah berada di atas sana.
Namun, itu semua sia-sia karena ia sudah ditakdirkan untuk tetap tertancap selamanya di bumi. Kemudian ia melihat ke sekelilingnya, tersadar akan suatu hal bahwa ia hanyalah sebuah gunung, yang tak pantas bersanding dengan bintang-bintang di atas sana. Padahal, tanpa adanya gunung, potret tentang keindahan yang selama ini dapat dilihat di bumi, tidak akan genap mendekati keindahan itu sendiri. Dan ia pantas mendapatkan pengakuan tentang keberadaannya di bumi, walaupun bintang tak pernah sesekali meliriknya dan selalu menganggap bahwa gunung itu tak pernah ada. Begitu pun juga diriku. Kita itu sama.
Samar-samar, terdengar suara kicauan burung jalak dan suara ayam hutan, diikuti oleh selesainya musik yang aku dengarkan sedari tadi, yang juga mengakhiri semua imajinasi yang terjadi. Aku segera berdiri, mengemas bungkus rokok, air mineral, dan smartphone ke dalam tas ranselku. Aku sempat berbalik dan melihat puncak gunung itu yang di mana di atasnya terdapat cahaya terang berbentuk bulat sempurna yang juga menyinari awan-awan yang ikut menghiasi keberadaan puncak itu.
Sesuatu yang tidak ada itu sebenarnya ada, di dalam pandangan lain, di dalam realitas lain. Meskipun ada manusia yang tidak menyukaimu dan menganggapmu sebagai tempat yang mengerikan, banyak hantu, banyak hewan buas, atau mendefinisikan dirimu sebagai ladang kematian, orang-orang sepertiku tak akan menganggapmu seperti itu karena mereka belum pernah merasakan apa yang aku rasakan. Kau tentu tidak perlu merasa bahwa dirimu sendiri, karena tanpa sadar bumi sudah memberimu tempat dan membiarkanmu tetap ada di sini. Kau tentu akan dianggap sebagai ketiadaan bagi bintang-bintang di luar sana, karena mereka tidak tertarik dengan keberadaanmu. Entah mereka bisa melihat dirimu ataupun tidak, tapi aku melihatmu ada, kata diriku sebagai suatu salam perpisahan untuk sementara waktu kepada puncak gunung itu. Lalu, aku melanjutkan perjalanan ke basecamp yang jaraknya sekitar tiga kilometer lagi. Tak ada hal lain, selain udara dingin yang menyentuh lembut diriku, ditemani oleh sebatang rokok yang selalu aku hisap di perjalanan pulang itu.
Dan untuk Tuhan, aku tahu kau itu ada — entah bersembunyi di balik bulan, bersembunyi di balik bebatuan, bersembunyi di balik kabut, ataupun bersembunyi di dalam diriku — walaupun ada orang yang menganggap-Mu tidak ada. Dan Kau, sebagai Sang Pencipta, tentu tahu harus bersikap bagaimana tentang sesuatu yang relatif dan memaklumi segala bentuk dan sifat dari ciptaan-Mu sendiri tentang anggapan ketiadaan-Mu itu. Kau itu selalu baik, dan segala hal baik selalu menetap kepada-Mu, sambungku.
Tak beberapa lama, basecamp sudah terlihat di depan mata. Aku mempercepat langkahku, dengan menahan rasa lapar dan keinginan untuk merebahkan badan sebab setelah melihat base camp, diriku merasa lega karena masih merasakan hidup setelah panjangnya perjalanan — dengan total empat belas jam untuk berjalan, tiga jam untuk tidur, dan satu jam untuk duduk — yang aku lakukan di gunung itu. Smartphone ku bergetar, menandakan bahwa sinyal berhasil masuk dan tertangkap olehnya. Sedikit penasaran, aku langsung membuka tas ranselku dan mencari smartphone yang bergetar terus menerus. Ada enam panggilan keluar dan satu pesan dari ibuku. Firasat yang tidak enak pun berhasil dikuasai. Pelan-pelan, kubuka satu pesan singkat itu dan membacanya dengan lirih. Dan tanpa tersadar, tanpa terencana, air mataku berhasil mengalir tak terbendung.
Nak, kapan kau pulang? Ibu sangat merindukanmu.