Murka

Foto dari Kibrispdr
Ketika murka, aku tidak bisa lagi berbicara. Berbicara tentang apa pun itu, sebaik dan sefasih apa pun itu, yang keluar hanyalah bualan dari sebuah alasan dari banyaknya kejadian sampah yang diatur sedemikian urutnya. Omong kosong.

Ketika murka, aku tidak bisa lagi berbicara. Bukan hanya mulut, namun pikiran dan perasaan pun sudah tidak kuat lagi untuk berbicara dengan lantang. Sekeras apa pun, sampai nangis getih pun tak ada gunanya. Omong kosong.

Ketika murka, aku tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Hanya sekadar beranjak dari kasur pun sudah tidak ada energi lagi. Apa yang ada di tubuh seketika melayang entah ke mana. Sudah dicari, sudah dipanggil, tetap tidak kembali. Tak ada gunanya melakukan sesuatu. Diam membatu adalah salah satunya pilihan yang ada. Tidak ada perasaan lain selain kehampaan.

Ketika murka, ketika aku sangat murka terhadap keadaan yang ada(entah Tuhan berperan atau tidak, entah semesta pun turut andil atau tidak), ilmu-ilmu yang sedari dulu sudah tertanam di dalam otak, perasan-perasaan yang sudah mengendap di dalam hati, pengalaman-pengalaman yang terbungkus dan terkumpul rapi di dalam sebuah memori sungguh tidak ada gunanya sama sekali.

Ketika aku murka, semuanya, yang aku punya atau tidak sempat aku punyai atau bahkan tidak akan aku punyai, apa yang aku bisa atau belum bisa atau bahkan tidak bisa kulakukan, semuanya, sekali lagi, akan menjadi sebuah omong kosong.

Kemurkaan yang terjadi hanya akan menghantarkan diriku ke dalam sebuah omong kosong yang gelap tak berujung.

Cacat logika, cocoklogi sampah, kecerdasan dalam memanipulasi pikiran dan perasaan, sebaik dan sesempurna apa pun ilusi dan ekspetasi yang akan dibuat, akan selalu menjadi omong kosong belaka, ketika aku murka.

Yogyakarta, 06 November 2021.