Sejak Awal, Aku pun Tahu

Foto dari Mocah
Ramai bukan main, banyak orang di tempat ini. Saling menyapa, menebar senyuman kebahagiaan, menurut mereka. Semuanya saling bertukar kabar, bercerita tentang hidup mereka selama ini, dan tak lupa tentunya segelas ciu oplosan masing-masing berada di tangan mereka.

Ah, untuk apa aku di tengah keramaian ini? Apakah aku harus tetap duduk di sini? Sampai kapan?

Cahaya blitz dari kamera selalu saja menggangguku. Duduk nyaman pun tak bisa kurasakan. Silau, sungguh silau. Bisakah semua ini segera dihentikan? Aku sungguh sudah tidak nyaman lagi. Tolonglah, aku tidak tahan lagi duduk di sini.

“Mas?”

Suara itu memanggilku, tepat di sebelahku. Aku menoleh sejenak ke arahnya, berharap bahwa semua ini tidaklah nyata. Hanya mimpi, harapku.

Aku melihat wajahnya dengan seksama. Kupaksakan untuk melontarkan senyuman seadanya. Entahlah kenapa aku tak bisa tersenyum lepas, namun aku tetap melihat wajahnya.

Wajahnya manis, terlihat elegan. Rambut cokelatnya yang pendek, tubuh mungil nan lucu, dan gaun yang ia pakai terlihat begitu indah. Mataku terbelalak. Cantiksempurna, gumamku.

Namun, kenapa dia? Kenapa? Seharusnya dirimulah yang berada di sebelahku saat ini.

Aku tahu. Mungkin sampai kapan pun itu, kau tak akan pernah bisa. Sejak pertama kali aku melihatmu, aku tahu, kau tak akan pernah bisa bersamaku di sini. Terlihat dari tatapan matamu kala itu, semakin meyakinkanku akan hal itu.

Pelukan pertamamu, ah aku sungguh merasakannya. Jantungku berdetak begitu kencangnya. Segala harapan langsung muncul dibenakku. Banyak, sungguh banyak. Harapan-harapan untuk menikmati waktu bersamamu pun menjadi nyata setelahnya. Aku bahagia, sangat bahagia.

Namun jikalau kau mau tahu, saat itu juga aku pun sebenarnya sudah tahu, bahwa pelukanmu itu sekaligus menjadi pelukan terakhirmu denganku. Aku sungguh bisa merasakannya. Dan sekarang, bukankah itu terasa sangat begitu nyata?

Sejak kau bilang kepadaku dengan halusnya bahwa kau akan selalu berada di sisiku, namun sekali lagi aku tahu, tatapan matamu benar-benar tak berkata seperti itu.  Apakah waktu itu kau hanya mencoba untuk mencintai seseorang? Atau, apakah kau hanya terlalu memaksakan untuk mencoba mencintaiku?

Asal kau tahu, semenjak perpisahan kita di Jalan Malioboro itu, aku begitu menyesal karena telah membuatmu untuk mencoba mencintaiku. Aku begitu menyesal dengan apa yang telah aku ungkapkan sewaktu kau sedang memelukku. Apa yang aku lakukan, mungkin tanpa sadar, terlalu memaksamu untuk mencintaiku. Kau tak tahan, kau tak kuat, dan kau sangat kerepotan karena diriku.

Bukan salahmu, bukan. Aku yang memulai semuanya. Maafkan aku karena telah memaksamu. Maafkan aku karena telah membuatmu mencoba untuk mencintaiku. Maafkan aku yang telah mengacaukan pilihan hidupmu, mengacaukan prinsip-prinsip hidup yang telah kau bangun mati-matian sejak dulu. Kau suka dengan kesendirian, begitu bahagia dirimu saat mengatakan itu kepadaku. Dan kau akhirnya memilih untuk sendiri. Aku tak bisa berbuat apa pun untuk hal itu, bukan?

“Mas ….”

Sontak aku tersadar. Air mataku pun telah diusap olehnya dengan perlahan. Lembut, tangannya begitu sangat lembut mengusap pipiku.

Tak berapa lama, tubuhku terasa ringan. Suara berisik di kepalaku perlahan menghilang. Oh, wanita yang sedari tadi berada di sebelahku tiba-tiba memelukku dengan sedikit erat. Diusapnya punggungku dengan pelan. Apa yang telah aku lakukan? Apa yang sedang terjadi di sini?

“Terimakasih sudah mengizinkanku untuk mencintaimu, dan bersamamu selamanya, Mas,” ucapnya lagi.

Tak sempat aku membalasnya, pelukannya menjadi semakin erat. Suasana mulai terdengar sangat ricuh. Orang-orang di sekitarku terlihat sangat girang.

“Sah!” sahut mereka semua.

Apakah sekarang waktunya diriku untuk belajar mencintai walau tanpa dirimu, lagi? Seperti inikah yang kau rasakan saat bersamaku dulu? Seberat itukah kau mencoba untuk mencintaiku? Sebegitu gilanyakah kau rela mengorbankan beberapa mimpimu hanya untuk diriku?