Foto dari Jenny Holzer's di canadianart. |
Di suatu tongkrongan malam bersama
teman-teman, ada sesuatu hal menarik yang saya alami. Entah kenapa, dari
obrolan teman saya yang tadinya membahas mantan ataupun gebetan dengan segala
tetek bengeknya, tiba-tiba saja obrolan yang tadinya santai menjadi sangat
serius. Pasalnya, teman saya ini, sebut saja Benjut, mengatakan bahwa wanita
merupakan sumber masalah di dunia dibandingkan dengan laki-laki.
Benjut mengatakan alasan kenapa wanita
menjadi sumber masalah itu dikaitkan dengan penafsiran pandangan agama yang
kita anut. Katanya, orang yang paling banyak masuk neraka adalah wanita. Dia
memberikan contoh saat suami minta jatah kebutuhan seksual, jika istri menolak
maka akan masuk neraka. Dengan segala dalil dan ilmu yang dia pernah
pelajari dari temannya, gurunya, atau yang pernah dia baca, dia lontarkan saat
itu juga.
Saya dan kedua teman saya hanya
meringis saja. Alasannya ya karena apa yang dikatakan olehnya sangat
konservatif sekali dan bisa dikatakan dia mendukung budaya patriarki berkedok
agama. Saya pribadi, sangat tidak setuju dan menentangnya namun saya sampaikan
dengan obrolan yang masih santai sambil menyeruput kopi hitam dan nyebat.
Karena setahu saya dan yang saya yakini, Tuhan mana pun tidak akan pernah
mengajarkan kepada laki-laki untuk memperbudak wanita, dan tidak akan pernah
pilih kasih terhadap suatu gender perihal rasa sayang-Nya. Semua gender sama
rata di mata-Nya.
Namun seketika obrolan makin serius
dan kian memanas di saat Benjut mencontohkan lagi sebuah kasus saat wanita
menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan dan dia menyalahkan wanita.
Pelecehan seksual atau pemerkosaan terjadi karena wanita yang bikin masalah
beralasan penampilan atau pakaian yang wanita kenakan. Seharusnya wanita
begini, berpakaian seperti itu, dan berpenampilan seperti ini. Berengsek.
Mungkin karena sudah muak dengan apa yang Benjut katakan, saya tidak bisa
mentolerir pandangan seperti itu. Kebangetan. Dan di sinilah, pembantaian keji
kepada Benjut oleh saya dan teman saya kemudian terjadi.
Saya cerita kepada Benjut bahwa
beberapa hari yang lalu, kekasih saya baru saja menjadi korban pelecehan
seksual di Malioboro. Kita tahu sendiri, Malioboro adalah tempat yang ramai
pengunjung. Padahal kekasih saya hanya duduk manis di bangku menunggu saya yang
sedang menambal ban motor. Dia berpakaian dress hitam panjang lengan pendek,
pokoknya cakep. Saya jabarkan ceritanya sedetail mungkin dengan nada yang
kurang santai karena mengingatnya saja bikin saya sangat marah. Jika waktu itu
juga saya berpapasan dengan pelaku, mungkin sudah geger geden di Malioboro
karena yang ada dipikiran saya itu pelaku harus dihukum dengan muka babak
belur. Harusnya.
Benjut bertanya, kenapa waktu pacarmu
dirangkul dan dipanggil “sayang” tidak menolak rangkulan dan masih duduk saja?
Ohalah, Benjut. Emang Goblok.
Pertanyaan Benjut saya jawab dengan emosi. “Tidak semua korban itu bisa
langsung reflek untuk melawan pelaku pelecehan seksual. Kekasih saya ingin
teriak namun tenggorokannya seperti terganjal sesuatu, ingin bergerak namun tidak
bisa karena tubuhnya terasa kaku dan beku. Kekasih saya kaget, Njut. Dia sangat
syok waktu itu. Seluruh tubuhnya seolah-olah lumpuh! Su! Goblok!”
Benjut masih diam. Tangan kirinya
menggaruk-garuk ketombe di kepalanya dan tangan kanannya digunakan untuk
nyebat. Lalu ketombe didapat, baru dia menyeruput kopinya. Namun Benjut masih
saja diam. Ekspresinya masih bingung mau ngomong apa.
Sekarang gantian teman saya yang
satunya, sebut saja Sudel. Sudel berpendapat tentang kasus santriwati yang
diperkosa oleh gurunya atau pengurus pondok padahal mereka sudah berpakaian
sangat tertutup. Lalu dia juga bercerita tentang kasus wanita yang sedang
mengendarai motor atau jalan kaki namun tetap saja menjadi korban pelecehan
seksual oleh laki-laki. Ceritanya detail, dengan menunjukan berita-berita yang
ada di internet.
Dan saya kemudian bertanya lagi,
dari pakaian dan penampilan apa pun dari kasus itu, mengapa masih saja terjadi
kasus pelecehan atau pemerkosaan? Apakah penampilan menjadi tolak ukur yang
valid untuk menyalahkan wanita dalam kasus pelecehan seksual?
Benjut masih terdiam. Teman saya yang
satunya lagi, sebut saja Perjak, hanya meringis dan tertawa sambil
mengolok-ngolok Benjut dengan kata-kata “Goblok, Tolol, uteke nang silit,
Celeng”.
Tidak ada jawaban dari Benjut karena
pada saat dia mencoba menjawab, Perjak langsung mencela dan mengolok-ngoloknya
terus-terusan. “Alah, kakehen cocot awakmu, Njut!”
Saya kemudian mencoba menjelaskan lagi
kepada Benjut dengan pelan. Pemikiran seperti itu sudah seharusnya dibuang
jauh-jauh. Pelecehan seksual terjadi tidak memandang pakaian dan penampilan
korban, tidak memandang gender, tidak memandang tempat, melainkan karena sebuah
nafsu bejat pelaku yang jauh di atas kategori normal. Baik cowok atau cewek,
semua bisa saja menjadi korban pelecehan seksual. Dengan menyalahkan korban
pelecehan seksual, itu sama saja mendukung si pelaku. Pun kalau
dihubungkan dengan kenapa di neraka banyak wanita dibanding laki-laki, itu
tidak benar menurutku. Tuhan tidak memandang gender, melainkan memandang
keimanan berdasarkan sikap dan perilaku seseorang di masa hidupnya.
Benjut hanya meringis dan langsung
pamit untuk pulang duluan. Dia tidak membayar minuman dan makanan yang ia
pesan. Dia justru menyuruh Sudel untuk membayarnya nanti.
“Pancen
kewan koe, Njut!” Kata Sudel.