Kehidupan di Antara Pohon-Pohon

Pohon

Di tengah hutan yang rimbun, di mana sinar matahari hanya sesekali menembus celah daun, seorang pemuda bernama Banyu berdiri terpaku. Rasanya seperti berhadapan dengan cerminan hidupnya sendiri – gelap, padat, dan penuh misteri. Ia datang ke sini dengan harapan, atau mungkin tanpa harapan, hanya sekadar ingin menghilang dari hiruk-pikuk dunia luar. Di antara pohon-pohon ini, ia berharap menemukan sesuatu yang selama ini hilang dalam dirinya.

Banyu melangkah pelan, menelusuri jejak-jejak yang hampir tertutup dedaunan kering. Setiap langkahnya adalah gumam sunyi yang terpantul di hati. Pohon-pohon di sekelilingnya seakan menjadi saksi bisu perjalanan batinnya. Ia teringat kata-kata ibunya sebelum meninggal, "Kadang, kita harus tersesat untuk menemukan jalan pulang."

Di tengah perjalanan, Banyu bertemu dengan seorang lelaki tua yang duduk di atas batu besar, diapit dua pohon raksasa yang akarnya saling melilit seperti sepasang ular bercinta. Lelaki tua itu tampak bijaksana, dengan mata yang menyimpan ribuan cerita. Tanpa bicara, lelaki tua itu menatap Banyu, seolah menunggu pertanyaan yang sudah lama ingin dilontarkan.

"Apa yang sebenarnya kucari di sini?" Banyu akhirnya bertanya, suaranya serak oleh beban hidup yang menekan. Lelaki tua itu tersenyum, senyum yang penuh dengan misteri. "Hutan ini adalah cermin, Nak. Apa yang kau lihat, itulah yang ada dalam hatimu." Banyu terdiam, merenungkan kata-kata itu. Hutan ini penuh dengan bayangan gelap dan suara-suara aneh, mirip dengan kekacauan yang melanda pikirannya. Ia teringat masa kecilnya, bermain di sawah bersama teman-temannya, tertawa riang tanpa beban. Kini, tawa itu hanya kenangan yang terasa jauh, seperti mimpi yang perlahan memudar. "Kadang, kita perlu mendengarkan suara-suara di sekeliling kita untuk menemukan jawaban," lelaki tua itu melanjutkan. "Teriakkan pertanyaanmu, biarkan alam yang menjawab." Banyu menghela napas panjang, lalu berteriak sekuat tenaga, melepaskan segala kegundahan yang mengungkung jiwanya. "Apa yang harus kulakukan? Mengapa hidup ini terasa begitu berat?" Suara teriakannya bergema di antara pohon-pohon, seolah-olah hutan itu menelan setiap kata dengan lapang dada. Kemudian, keheningan. Hanya suara angin yang berbisik lembut di telinga, menyampaikan pesan yang sulit dimengerti. Lelaki tua itu tersenyum lagi, kali ini dengan lebih dalam. "Jawaban tidak selalu datang dalam bentuk kata-kata. Kadang, mereka hadir dalam keheningan, dalam momen-momen kecil yang tak terduga." Malam menjelang, dan Banyu duduk di bawah pohon besar yang sangat tua, yang tampak berbeda dari pohon lainnya. Daunnya berkilau dalam sinar bulan, seperti bintang-bintang yang terperangkap di antara ranting. Di sini, di bawah pohon ini, Banyu merasakan kedamaian yang lama dirindukan. Suara-suara dari alam menjadi nyanyian pengantar tidur, membawa mimpi-mimpi tentang masa lalu dan harapan-harapan baru. Banyu menyadari, perjalanan ini bukanlah tentang menemukan jawaban pasti, melainkan tentang menemukan kedamaian dalam perjalanan itu sendiri. Ia bangkit dengan perasaan yang lebih ringan, siap menghadapi dunia luar dengan hati yang lebih tenang. Esoknya, saat fajar menyingsing, Banyu meninggalkan hutan itu. Ia tahu, hutan ini akan selalu ada, menunggunya kembali jika suatu saat ia tersesat lagi. Di antara pohon-pohon itu, ia menemukan cerminan diri yang selama ini dicari. Namun, saat ia melangkah keluar dari hutan, ada sesuatu yang aneh. Di tepi hutan, ia melihat bayangan lelaki tua itu, berdiri diam dengan senyum yang sama. Lelaki tua itu mengangkat tangan, seolah-olah mengucapkan selamat tinggal. Atau mungkin, selamat datang kembali. Banyu berhenti sejenak, matanya terpaku pada bayangan itu. Ia mengerjap, dan bayangan itu hilang, seakan-akan tak pernah ada. Sebuah bisikan lembut terdengar di telinganya, "Kau belum benar-benar menemukan jalanmu, Nak. Perjalananmu baru saja dimulai." Banyu menggigit bibirnya, keraguan menyelinap kembali ke dalam hatinya. Apakah semua ini hanya ilusi? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang menantinya di luar sana? Dengan langkah berat, ia melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan itu di belakang, tetapi tidak benar-benar meninggalkannya. Dan hutan itu, dengan segala misterinya, tetap menunggu.