Foto lukisan dari Michael Lang |
Hujan datang begitu deras. Yuri dan Eva
terpaksa berteduh di sebuah warung makan kecil dan juga berniat untuk makan
ataupun hanya meminum segelas kopi. Tempat itu sederhana, namun sangat bersih
dan masakannya pun terlihat sangat enak. Kebetulan penjual makanan di warung
itu terlihat sangat ramah. Ibu-ibu paruh baya, memakai sebuah celemek batik
dengan senyuman hangatnya pun menyapa mereka. Yuri hanya memesan segelas kopi
hitam panas, berbeda dengan Eva yang memesan satu porsi mi aceh tidak pedas dan
segelas es susu putih.
"Mas, aku sedang
kacau. Terlebih lagi aku sedang halangan, mungkin hari ini akan menjadi hari
terburukmu bertemu denganku."
"Apakah menurutmu
selama aku bertemu denganmu bukan hari terburukku?" Yuri menjawab dengan
nada meledek.
Pesanan makanan dan minuman
mereka pun datang. Namun Eva masih tidak menanggapinya dan juga tidak langsung
melahap makanan itu. Ia sedang melamun ke arah hujan, memikirkan kenapa dirinya
tidak seperti orang-orang normal kebanyakan. Menganggap dirinya ada dan
terlahir di dunia adalah suatu kesalahan yang dilakukan oleh Tuhan dalam
memasukan algoritme untuk kehidupan ini.
"Aku merasa tidak
pantas untuk hidup. Melihat orang lain dengan kehidupan normalnya membuatku
menyesal telah terlahir di dunia. Aku ini tidak normal, Mas. Aku selalu melihat
anak kecil dan berdoa kepada Tuhan agar sewaktu mereka sudah berenjak dewasa,
mereka tidak akan menjadi orang sepertiku."
Yuri lalu mengambil jaket
di tas ransel coklatnya, memberikan jaket itu kepada Eva yang sedang menggigil
kedinginan. "Aku tahu kau suka dingin, tapi kau sedang kedinginan.
Pakailah jaket ini sekarang juga, Sayang. Sedikit patuhlah kepadaku tentang hal
ini karena jika tidak, kau nanti akan sakit."
Eva mengambil jaket itu dan
langsung memakainya. Melihat Eva langsung memakainya, Yuri tersenyum dengan
perasaan lega. Tidak lama kemudian, di saat Eva sudah terlihat tidak
kedinginan, Yuri dengan iseng menggambar sesuatu di atas paha Eva.
"Infinite?" Eva
langsung melihat ke arah Yuri yang sedang menatap wajahnya dengan tenang.
Tatapan itu sungguh indah dan juga hampir mendekati sempurna.
"Itulah jawaban dari
pertanyaan seberapa banyak dan lamanya aku akan mencintaimu. Tentunya jawaban
itu tidak akan cukup, sangat tidak cukup. Asal kau tahu, jawabanku tidak ada
apa-apanya dari apa yang ada di dalam dirimu, Eva." Yuri menatap hujan
yang disertai angin kencang, petir yang sedari tadi muncul bagaikan Tuhan yang
sedang bermain sakelar lampu di rumah-Nya.
"Kita itu dua orang
kacau. Tidak ada yang lebih kacau dari kita, itulah mengapa kita bersama.
Bersyukurlah karena Tuhan telah melahirkan kita. Dengan tidak adanya kita di
dunia, tidak akan ada pula orang-orang normal di luar sana, Eva. Kita hanya
perlu memerankan diri kita sesuai kesepakatan yang sudah kita buat dengan Tuhan
sebelum kita terlahir di dunia. Kau pemeran yang sangat baik, aku akui dirimu
itu keren."
"Hidup itu sungguh
rumit. Aku selalu berdoa untuk menjadi batu jika aku dilahirkan kembali,"
keluh Eva sambil menghela napas yang panjang.
"Berbeda sepertimu.
Justru aku ingin merasa tidak hidup dan juga tidak mati. Pemikiran kita tentang
ini semua hanya akan membuat diri kita jatuh ke dalam sesuatu yang tidak akan
pernah terjadi. Tentu saja itu tidak akan nikmat, bukan?" Yuri meminum
kopi hitamnya dengan hati-hati, tidak mau sedikit pun cairan terlewat dari
gelas itu menuju ke mulut lalu masuk ketenggorokannya. Cairan itu berasa
seperti sebuah obat untuk otaknya jika sedang merasa tidak waras, dan dengan
mustahilnya selalu saja manjur.
"Aku tidak pernah
bertemu dengan orang aneh sepertimu. Seseorang yang jika sedang merasa kacau,
kau selalu saja menyalahkan diri sendiri dan tentu saja bercerita tentang semua
itu dengan-Nya. Pantas saja Tuhan menganggapmu seseorang yang sangat cerewet,
Sayang. Terlepas dari itu, kau itu hebat. Tidak pernah mengganggu orang-orang
yang kau anggap normal disaat kau merasakan kekacauan itu, dengan artian, kau
tidak mengacaukan apa yang ada di dalam diri mereka. Kekacauanmu itu sungguh
teratur, berjalan sangat lancar di dalam dirimu. Simbol yang baru saja aku gambar,
itulah yang ada di dalam dirimu."
Yuri tersenyum bahagia,
dirinya sangat bersyukur bertemu dengan seseorang yang hebat sehingga dirinya
pun ikut merasakan kehebatan itu.
"Aku sangat bersyukur
dan berterimakasih karena kau telah menolongku waktu itu. Diriku sedang
sekarat, seperti mayat hidup. Dengan semua kekacauan yang ada di dalam dirimu,
kau bersedia menanggung kekacauanku. Janganlah merasa sendiri, lihatlah aku di
hadapanmu sekarang, Eva. Kau hanya perlu tahu itu." Yuri kemudian memeluk
Eva. Mereka berdua merasakan suatu tempat yang kacau di pelukan itu, tempat
yang terlalu kacau sampai-sampai tidak ingin semua itu hilang dan tidak pernah
ditemui lagi.
"Oh Tuhan, terimakasih
telah mempertemukanku dengan dirinya. Kau sungguh baik, di saat
semua orang mengganggap-Mu tidak adil. Biarkan kami bersama dengan semua
kekacauan ini, Kau pasti sudah mengetahuinya. Kabulkanlah doaku, Tuhan,"
gumam Yuri di dalam hatinya. Ia dengan sangat yakin dan bertekad bahwa Tuhan
benar-benar akan mengabulkan doanya.