"Sudah
lama sekali aku tidak mengunjungi tempat ini. Sudah banyak renovasi ya,"
Yuri
melihat tempat duduk yang kosong di sebelah gazebo alun-alun itu. Melihat
tempat yang kondisinya sudah sangat berbeda sejak terakhir kali ia
berkunjung-kurang lebih sekitar tiga tahun yang lalu. Lumayan lebih modern dan
bersih. Mungkin, pemerintah sudah tidak buta dan sedikit menyisihkan rasa
peduli kepada orang-orang seperti Yuri yang suka membuang waktu dengan duduk di
alun-alun pada sore hari.
Ia
segera menuju ke tempat duduk itu dengan membawa secangkir kopi dan rokok Camel
Purple isi 12 yang ia beli di warung pinggir jalan. "Suasana hangatnya
masih sama, tidak ada yang berbeda," desahnya sambil duduk dan menyalakan
rokoknya. Dengan sekejap, ia mencoba memutar film yang sudah direkam lewat
mata, lalu disimpan di otaknya, dan berharap lobus temporalnya tidak
rusak-masih berfungsi dengan baik untuk mengingatnya.
Sebuah
film mulai berputar lewat imajinasinya, diiringi lagu dengan judul High
Hopes dari Kodaline-grup musik asal Irlandia. Saat itu Yuri sedang
beristirahat di tempat duduk itu, ditemani oleh Eva-seorang wanita yang secara
kebetulan bertemu dengannya di cafe dan merupakan wanita yang sangat
dicintainya.
"Langit
sore ini sangat indah ya. Pemandangan yang jarang aku nikmati. Melihat banyak
orang-orang sibuk bersantai, berolahraga, maupun hanya sekedar jalan-jalan. Aku
senang melihatnya. Melihat cowok dengan pasangan ceweknya yang sedang duduk di
pojokan dan mungkin sedang ngobrol tentang kapan mereka akan menikah, melihat
beberapa keluarga yang sedang bermain dengan anak-anaknya yang masih kecil, dan
melihatmu, Yuri. Kau adalah yang paling aku sukai," wanita itu mulai
memeluk Yuri yang sedang duduk di sampingnya.
"Kau
salah besar, Eva. Bukan diriku yang kau sukai, melainkan dirimu sendiri. Itulah
mengapa sekarang aku di sini, dengan senang hati tubuhnya dipeluk oleh orang
sepertimu," Yuri mengusap kepala Eva, menandakan bahwa Yuri sangat
bersyukur. "Aku tak ingin kita jauh. Aku sangat lemah untuk itu. Bisakah
kau berjanji akan kembali dan bersedia untuk aku peluk lagi?"
"Sebenarnya
pertanyaanmu tidak perlu aku jawab, karena kau sudah tahu jawabannya,"
Yuri melepas pelukan Eva. Ia menatap Eva dengan tatapan yang tajam. "Kau
menakutiku. Tatapanmu seperti pembunuh yang penuh dengan kebencian."
Yuri
memandangi wajah Eva dengan sangat dekat, kemudian menciumnya. "Kau benar.
Aku memang seorang pembunuh. Aku sangat benci kerinduan, aku akan membunuhnya
untukmu," lanjut Yuri sambil meminum kopi hitam yang dibelikan oleh Eva.
Mereka berdua menatap langit merah di sore hari itu, melihat sekumpulan awan
yang indah. "Apakah kau yakin tentang kita?" Eva bertanya dengan
lembut, mengambil satu batang rokok Camel Purple.
"Apakah
tadi di saat kau memelukku, kau mendengar jantungku berdegup?" Yuri
mengambil korek api dan menyalakan rokok yang sudah berada di mulut Eva.
"Tentu saja, aku mendengarnya," Eva menghisap rokok itu dan
mengeluarkan asap rokok berbentuk sebuah lingkaran yang nyaris sempurna lewat
mulutnya. "Selama kau masih bisa mendengarnya di dalam tubuhku, aku tidak
akan berhenti untuk yakin. Kau itu bagaikan gravitasi, tetaplah menarikku ke
dalam pelukanmu dan jangan lelah untuk itu."
Yuri
membuka mata, film yang sedang ia putar dengan sekejap berhenti. Ia mendengar
namanya disebut dengan sangat lembut oleh seseorang wanita yang sangat ia
kenal-seseorang yang kurang lebih sudah tiga tahun lamanya tidak ia temui. Ia
melihat wanita itu duduk di sebelahnya. Senyumnya yang hangat berhasil
membuatnya sedikit lemas. Wanita itu memeluknya dengan erat, sampai-sampai ia
sedikit kesulitan untuk bernafas.
"Sedang bernostalgia ya? Kau memang bajingan, Yuri. Tiga tahun itu sangat lama, kau pantas menerima pelukan ini. Namun aku akui, kau memang pembunuh yang handal."