Dari seberang rumahmu, aku hanya menatap
jendela ruanganmu yang redup. Apakah kau sedang bergelut dengan pikiranmu? Oh,
memang sudah sepantasnya kau lakukan di setiap malam. Berpikirlah dengan keras,
pahamilah, dan berhentilah!
Napasmu sangat berat. Keadaan ruangan yang
kau rasakan sudah pasti begitu sesak. Apakah kau kehilangan banyak harapan?
Apakah kau kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali sampai kapan pun
itu? Apakah sekarang kau sudah menyadarinya?
***
Apakah ini saatnya aku berhenti? Apakah hari
yang sangat aku takuti akan terjadi? Aku begitu lelah tentang semua ini.
Menampung segala sesak di dada ini, sendiri. Tidak ada yang peduli. Tak ada
satu pun yang peduli kepadaku. Apakah menjadi
naif selalu saja seperti ini?
Ah Tuhan, Kau di mana? Apakah Kau tidak
melihatku? Apakah Kau sudah mati?
Lemas. Tubuhku begitu lelah. Aku lelah, pun rasa kantuk begitu kurasakan. Tetap saja, mataku terasa begitu segar. Tak mau terpejam, lalu tertidur.
Lemas. Tubuhku begitu lelah. Aku lelah, pun rasa kantuk begitu kurasakan. Tetap saja, mataku terasa begitu segar. Tak mau terpejam, lalu tertidur.
Aku lelah. Pikiranku rusak. Neuron otakku
masih bekerja dengan cepat. Hatiku berdegup kencang tak karuan. Tiga gelas kopi
hitam dan dua bungkus rokok yang kuhabiskan benar-benar sudah tidak dapat
membantuku lagi.
Bajingan, apa yang sedang aku pikirkan? Apa
yang sedang aku rasakan? Setiap malam selalu saja seperti ini. Apa yang harus
aku lakukan?
***
Pertanyaan yang kau lontarkan terperangkap
di ruanganmu. Tak ada jawaban yang akan masuk. Kau harus menyerah sekarang.
Jika tidak, kau akan mati perlahan.
Ruang dan waktu yang kau habiskan akan
terus berkurang. Kau membuangnya secara percuma. Sia-sia. Kau tidak boleh
mengabaikannya lagi. Lepaslah, berhentilah sekarang. Atau hidupmu benar-benar
akan mati, seperti sebuah mayat.
Rebahkan badanmu. Pejamkan matamu. Paksakan
matamu untuk tetap terpejam. Paksakan untuk beberapa saat. Lihatlah, lihat!
Suar merah di langit malam merekah dengan indahnya. Apakah kau sudah
melihatnya?
***
Nikotin tak berfungsi lagi untuk hormon dopamin di otakku. Kafein yang aku minum tak dapat lagi mencegahnya. Depresi ini tak mau pergi walau sementara. Sialan. Apakah aku harus mulai meminum beberapa obat tidur lagi?
***
Nikotin tak berfungsi lagi untuk hormon dopamin di otakku. Kafein yang aku minum tak dapat lagi mencegahnya. Depresi ini tak mau pergi walau sementara. Sialan. Apakah aku harus mulai meminum beberapa obat tidur lagi?
Tubuhku kembali terjatuh di kasur. Ah, begitu
nyamannya. Kupaksakan untuk memejamkan mata agar bisa tertidur, harapku.
Gelap yang kulihat, gelap yang kecepatannya
melebihi cahaya, dengan cepat mengisi seluruh pandanganku. Gelap, sungguh
gelap. Sekarang, apa yang harus kubayangkan?
Gelap. Masih saja gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa. Namun pikiranku mulai kosong. Neuron di otakku mulai terasa ringan, melambat. Detak jantung pun tak mau kalah lambat. Sedikit lebih tenang, syukurlah.
Gelap. Masih saja gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa. Namun pikiranku mulai kosong. Neuron di otakku mulai terasa ringan, melambat. Detak jantung pun tak mau kalah lambat. Sedikit lebih tenang, syukurlah.
Namun tiba-tiba ada suara ledakan yang
terdengar lirih. Cahaya silau mulai terlihat. Buta. Aku buta sejenak. Cahaya
itu, cahaya merah yang aku lihat menerangi gelap yang sedari tadi menyelimuti
pandanganku, melayang di atas langit-langit.
Aku melihatnya. Cahaya merah itu masih
mengambang di langit. Di bawahnya masih terlihat jelas bekas lintasan
cahayanya. Cukup dekat, sangat dekat.
Cahaya apa itu? Apakah itu suar? Kenapa aku melihatnya? Apa maksudnya?
Cahaya apa itu? Apakah itu suar? Kenapa aku melihatnya? Apa maksudnya?
***
Sudah jelas kau pasti mempertanyakannya.
Lihatlah dengan seksama! Lihatlah! Suar itu terbang dan mengambang di udara. Oh, matamu. Kilauan merah terjebak di dalam
matamu. Asap merah memenuhi bola matamu. Kau menyukainya?
Hey! Cukup! Sudah cukup! Asal kau tahu, di
saat matamu terpaku ke arah cahaya itu begitu lama, ada seseorang meringkuk
lemas di seberangmu.
Tengoklah, Bajingan! Kau tidak sendiri! Ada seseorang menembakkan suar itu. Ada seseorang di sana! Sudah lama ia mencoba menembakkan suar itu. Beberapa kali ia mencoba, namun kau tak pernah mau melihatnya. Itu suar terakhirnya. Temui dia, Berengsek!
Tengoklah, Bajingan! Kau tidak sendiri! Ada seseorang menembakkan suar itu. Ada seseorang di sana! Sudah lama ia mencoba menembakkan suar itu. Beberapa kali ia mencoba, namun kau tak pernah mau melihatnya. Itu suar terakhirnya. Temui dia, Berengsek!
***
Cukup lama aku memandang suar itu. Kepulan
asap merah merekah dengan begitu cerah dan indah. Jalur lintasan cahaya suar
itu masih terlihat. Aku mencoba mendekat ke arah ujungnya. Siapa yang
menembakkannya ke atas?
Jalan yang kupijak sedikit diterangi oleh
cahaya suar yang masih bersinar di atas. Aku berjalan lurus, berjalan dengan
pelan menuju ujung tembakan.
Aku melihat seseorang sedang meringkuk kaku.
Tubuhnya terlihat lemas membatu. Aku perlahan mendekat. Oh sungguh, wajah
malang itu terlihat jelas. Kenapa aku melihat diriku sendiri di sini? Kenapa
diriku seperti ini? Kenapa dia? Apa yang sudah terjadi?
***
Asal kau tahu, apa yang kau lihat adalah
jiwamu sendiri. Kau berhasil membuatnya sekarat, meringkuk karena kesakitan tak
berujung yang sudah lama kau lakukan.
Apakah kau sekarang sadar? Bajingan. Kau
membunuh jiwamu secara perlahan. Kau tak pernah sesekali mendengar ucapannya.
Kau tak pernah sesekali memahaminya. Kau tak pernah sesekali melihatnya begitu
tersiksa. Kau tak pernah sesekali pun menemuinya. Kau tak pernah sekali pun
menolongnya. Tak pernah. Sekali pun tak pernah. Itu semua ulahmu. Kau pembunuh!
Dasar pembunuh! Berengsek!
Berhentilah sekarang juga. Berhentilah
menjadi naif dan menerima semua beban yang seharusnya tak kau terima. Kau tidak
sendiri. Ada jiwamu di dalamnya. Jika tidak kau lakukan, jika kau tidak
berhenti sekarang juga, jiwamu akan benar-benar mati! Berhentilah menyakiti
jiwamu yang sudah sekarat, Bajingan!