The Fiction

 


Steve berjalan menuju teras rumahnya dengan perasaan sedikit jengkel karena ia harus terbangun tengah malam sebagai budak dari seorang teman bangsatnya. Kedua tangannya membawa dua gelas kopi hitam panas yang ia buat dengan keadaan mata menahan kantuk berat. Membawa kedua gelas kopi itu seperti dua buah galaxi yang di dalamnya terdapat begitu banyak kehidupan, memastikan rotasi planet, bintang, dan objek luar angkasa lainnya tetap stabil di dalamnya agar tidak terjadi kiamat karena ulah kedua tangannya yang sudah tidak suci-sudah kotor karena sudah dicemari oleh dunia yang busuk ini.

"Kau kapan berangkat ke Tanggerang?" tanya Yuri yang sedang duduk manis, menyalakan rokok pemberian dari hasil memijat punggung ayahnya yang penuh dengan beban penderitaan dirinya dan keluarganya. "Kemungkinan masih lama, perkuliahan juga masih online sampai juni nanti akibat virus bajingan ini. Sudah tidak sabar sebenarnya bertemu dengan kekasihku di sana, sedikit takut di bujuk cowok lain dengan gombalan manis dan satu buah kado berisi kondom yang akan mereka gunakan setiap malam di saat kita jauh," keluhnya kesal.

Akhir-akhir ini Steve sering mengeluh karena kekasihnya sudah tidak seperti dulu lagi. Ia sudah jarang menerima kabar dari kekasihnya dan sering berdebat karena hal-hal kecil yang tidak seharusnya dipedebatkan. "Oh Steve, kau salah besar. Cobalah berpikir sedikit positif. Kau itu sedang ragu dengan dirinya karena kalian sudah jarang untuk saling mengirim pesan berbau sex beserta foto bugil yang biasa kalian lakukan dengan alasan sebuah rasa rindu itu?"

"Sejak kapan kau jadi dukun? Apakah sejak terbentur batu berukuran kecil seperti otakmu yang dilempar oleh satpam perumahan karena dirimu memanggilnya bapak para tuyul? Memang sih, kepalanya botak seperti tuyul, tapi aku akan lebih setuju mirip dengan kepala tuyul yang biasa kita pegang di saat kita buang air kecil."

"Hahaha, kepala tuyulmu lebih kecil dariku, Steve. Itulah kenapa kekasihmu kau ragukan," Yuri memakan gorengan tempe kering kesukaannya. Mereka melakukan rutinitas reuni kecil-kecilan itu dengan bau tempat kelahiran yang khas beserta udara malamnya yang dingin. Suasana yang terkadang membuat mereka berdua sangat rindu karena tidak pernah merasakannya di saat sedang merantau di kota lain.

"Cobalah serius untuk menjawab pertanyaanku ini, Bajingan. Aku sedang merasa takut kepada kekasihku, apakah kau pernah merasa sangat takut juga kepada kekasihmu itu?"

"Merasa takut jika Eva sudah tidak cinta dan bepaling dariku lalu bersama cowok lain?" jawab Yuri sedikit meringis. Ia menjadi bernostalgia. Prinsip cinta yang ia pegang selama ini adalah kebebasan-tidak perlu memaksakan seseorang untuk saling cinta. Sebuah paksaan untuk merasakan cinta itu seperti pemerkosaan dan memenjarakan kebebasan kehidupan yang ada di dalam diri seseorang. Lagian juga untuk apa terlalu menggenggam sesuatu yang sudah jelas ada di dalam diri setiap orang karena diri sendiri adalah segalanya.

"Kau itu sedang jauh dengan dirimu sendiri. Maksudku, apa yang kau takutkan itu karena kau sedang tidak mempercayai apa yang ada di dalam dirimu sendiri."

"Otakku sedang tidak berjalan dengan baik, Yuri. Jelaskan sedetail mungkin."

"Begini, apa yang kau takutkan itu adalah sebuah ketidakpastian. Kau hanya menguras energimu itu dengan percuma untuk hal yang belum jelas terjadi. Takut dia tidak mencintaimu lagi, takut dia bersama cowok lain, takut dia sudah bosan dan ingin meninggalkanmu adalah sebuah ketakutan yang belum terjadi. Kau berhasil menyia-nyiakan waktumu untuk hal yang dapat menganggu jalan untuk mencintaimu dirimu. Semakin kau tidak percaya dengan dirimu sendiri maka kau juga akan tidak percaya dengan dirinya. Salah satu cara untuk percaya adalah percaya. Gunakanlah momentum ini untuk percaya kepadanya dan lakukanlah hal yang berguna untuk dirimu sendiri. Bajingan busuk sepertimu semakin tolol saja kalau sedang begini."

Ia melepas kaos hitam polosnya dan merebahkan badannya di teras itu. Ia pikir, semua rasa takut yang muncul hanyalah sebuah ilusi palsu-perubahan persepsi seseorang tentang realitas yang belum atau bahkan sama sekali tidak terjadi. Ilusi rasa takut itu akan membawanya ke titik bifurkasi, membuat pikiran yang tadinya stabil menjadi kacau, dan mengacak-acak algoritma hati yang sudah terancang dengan sempurna.

"Kenapa kau bisa begitu percaya kepadanya?"

Yuri menghela nafas panjang, mengambil ponsel miliknya, mengotak-ngatik sebentar dan kemudian menunjukan salah satu pesan dari Eva "Bacalah ini dengan keras, Bajingan. Kalau otakmu tidak bergeser atau bahkan bertukar posisi dengan anusmu, kau akan tau apa arti dari pesan ini."

Layar ponsel itu menyala sedikit redup, Steve membaca satu kalimat yang dikirim oleh Eva pada pukul 02:55 kemarin pagi kepada Yuri.

"Sayaaang jgn pergi"

Yuri mengambil ponselnya yang berada di tangan Steve dan menaruhnya di atas dadanya. Ia pun memejamkan matanya. Membayangkan sosok Eva sedang menari-nari bersama dirinya di atas bulan, melayang-layang mengitari galaxi Andromeda yang dikelilingi oleh ribuan bahkan jutaan bintang cerah berwarna-warni, dan memeluknya di tengah-tengah kegelapan inti Blackhole yang sunyi.

"Mencintai orang secara utuh memanglah bukan hal yang mudah. Banyak sekali dari mereka berlomba-lomba untuk saling memiliki tanpa adanya rasa percaya, akhirnya mereka saling membunuh agar diakui sebagai pemilik cinta itu sendiri. Asal kau tahu, Eva mengajariku banyak hal baru walau ia tak pernah merasa bahwa ia telah melakukannya. Ia telah mempersilahkan diriku untuk berteduh ke dalam rumahnya yang hangat di saat hidupku hampir mati kedinginan, memberiku ruang-waktunya yang berharga lebih dari apapun yang ia punya, mempercayaiku sebagai sosok yang dapat menemani kesendiriannya dan membuat suasana yang tadinya sepi menjadi ramai penuh dengan kebebasan, kenyamanan, dan ketenangan. Itulah bentuk cinta yang utuh dengan penuh rasa percaya, Steve." ucap Yuri diikuti senyuman jeleknya. Steve yakin bahwa baru kali ini ia melihat sebuah senyuman berbentuk seperti sebuah bongkahan tai kebo berwarna coklat sedikit hitam pekat di hadapannya.

Steve mencoba mencerna kata-kata dari Yuri, menganalisisnya di dalam otak kecilnya yang mulai kusut akibat malam yang dingin, lalu menyuntiknya ke dalam hatinya yang buta, dan kemudian melakukan pengambilan rencana lanjutan berdasarkan bukti realitas yang sedang terjadi. Ia tersadar bahwa rasa takut itu bagaikan ilusi dan juga cerita fiktif buruk yang muncul di dalam pikirannya, cerita yang dipenuhi oleh suasana yang negatif, dan memiliki akhir cerita yang mengenaskan.

"Kalau boleh protes, kau itu merupakan bajingan nomor satu dari ratusan juta cowok bajingan di dunia ini yang beruntung bisa dipersilahkan menetap sampai kapanpun kau mau di rumah hangat itu, Yuri. Tapi begini, aku tak akan segan-segan mengusir bajingan sepertimu dari hidupku apabila kau meninggalkan rumah itu, membiarkannya tidak terawat dan yang paling parah adalah membiarkan pemilik rumah yang baik itu mati sendirian dalam sunyi akibat ulah cerobohmu nanti."

Yuri tersenyum lebar seakan-akan sedang menyambut sesuatu yang kembali hidup setelah berabad-abad lamanya mati- sebuah kewarasan dari otak temannya itu. "Cerita fiksi luar biasa yang sudah aku ciptakan di dalam pikiranku sendiri ternyata sekarang menjadi kenyataan, tak akan ada waktu yang tidak aku nikmati dengannya," Ia menatap ke arah Steve dengan penuh rasa iba. Tatapannya menjengkelkan, membuat Steve seperti ingin memuntah.

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Bangsat sekali memang hidupku ini, harus bertemu dengan orang-orang sepertimu."

"Kau kira dirimu tidak bangsat juga? Kau selalu saja merengek setiap kali mencintai seseorang. Aku doakan kau nanti malam bermimpi bercinta dengan se ekor kambing. "

"Ngomong maning ngeneh cepak tungkak, Asu!"


^
"Ngomong maning ngeneh cepak tungkak e nyong, Asu!" : coba bicara lagi dekat dengan tumitku, anjing.