Halaman 28

 


Memang benar, pada halaman 28 yang aku tulis itu berisi tentang perbedaan yang sangat terang tentang ilusi dan kenyataan yang pernah dan selalu aku alami sampai saat ini. Apa yang aku cintai, apa yang aku yakini tentang prinsip-prinsip dalam hidup, dan apa yang selama ini menjadi kecemasan dan ketakutanku dalam menjalani hidup pun tertuang lengkap di dalamnya. Mungkin diriku pernah memberitahumu tentang itu, entah kau ingat atau tidak. Karena aku tahu, mungkin, kau selalu mengabaikannya.

Meskipun aku cenderung suka menulis, meskipun juga tulisanku tidak seindah tulisan para sastrawan dengan bait-bait, syair, dan alur yang begitu menakjubkan, meskipun tulisanku tidak seperti tulisan seseorang yang sangat kau kagumi yang di mana setiap kalimatnya dipenuhi dengan diksi-diksi yang membuatmu tergila-gila akan keindahannya, namun aku tidak peduli dan tetap saja menulis, untukmu. Untuk kau baca, harapku.

Namun kenyataannya, di saat kupikir kau melihatku di dalam gerbong kereta menuju Yogyakarta kala itu, kau memalingkan wajahmu dariku. Tak ada sapaan apa pun, tak ada sepatah kata pun yang keluar sampai kau turun di stasitun Tugu. Apakah kau benar-benar tak melihatku? Atau, apakah kau benar-benar tak “pernah” melihatku?

Sebenarnya, di saat kau berjalan meninggalkan stasiun, aku ingin memanggilmu. Tetapi pada saat mulutku mulai terbuka, pada saat pita suaraku ingin bersuara untuk memanggilmu, napasku selalu saja terhenti. Dan pada waktu yang bersamaan aku pun tersadar bahwa setiap apa yang aku tulis, mungkin kau tidak pernah membacanya, apalagi dengan apa yang aku ucapkan nantinya? Mungkin juga, tak akan pernah benar-benar didengar olehmu.

Apakah kau bersedia membacanya? Apakah kau benar-benar bersedia memahami apa yang sudah aku tulis di sini?

***

Halaman 28

Tepat di tepi pantai pada sore hari ini, aku begitu takjub melihat sunset di atas sana. Pikirku, apakah itu benar-benar matahari yang mulai terbenam dengan keindahan dari pancaran sinar oranye yang menjalar ke segala penjuru langit, ataukah itu mungkin hanya sebuah jelmaan mata iblis untuk menakut-nakuti manusia bahwa malam yang gelap dan mengerikan akan segera datang?

Dan aku tersadar, ada dua sisi di dalam hidup yang bisa aku pilih dalam setiap hal yang terjadi. Kebahagiaan atau kesedihan.

Namun di saat aku melihat lautan yang terbentang lebar, di saat aku melihat deburan ombak kecil yang terkadang menghantam kakiku, bayang-bayangku tertuju pada dirimu.

Oh, Tuhan, betapa bahagianya diriku waktu itu bisa menikmati pemandangan sunset di pinggir pantai bersama seorang wanita yang sangat aku cintai. Meskipun aku tahu, aku sangat-sangat tahu, aku tak dapat selalu bersama dengannya.

Namun waktu itu, waktu di mana aku sibuk berbicara tentang keluh kesah yang selalu aku alami pada setiap hari Rabu, kau menyodorkan dua pasang earphone kepadaku. Aku langsung terdiam, namun kau justru langsung memasangnya ke telingaku.

Dari situ, aku tahu seberapa kau sangat tergila-gila dengan Taylor Swift. Aku tahu betul, bahwa kau juga pernah berkata tentang seberapa ajaibnya lagu-lagu dari BTS yang selalu kau dengar berhasil menyelamatkanmu di masa-masa sulitmu waktu kecil. Tak kalah juga, kau pun sangat-sangat mencintai musik jazz lebih dari musik apa pun di dunia ini, bukan?

Akan tetapi, aku juga benar-benar tahu bahwa semua itu, semua keindahan-keindahan yang kita lalui, bukan hanya satu-satunya untukku. Sedari awal kita bertemu di pelataran kafe kesukaanmu, sedari awal kau memeluk tubuhku di antara rintik hujan itu, aku tahu, aku bukan satu-satunya.

Kenyataannya, mungkin, hanya akulah yang mempunyai harapan tinggi bahwa kita dapat selalu bersama menikmati setiap waktu yang kita buang bersama. Hanya kita, hanya kita.

Yah, harapanku memang terkadang terbilang melampaui batas realita yang ada. Namun, aku benar-benar menikmati ilusi yang aku buat tentang ketertidakhinggaan kita untuk selalu bersama. Dan, ijinkan aku sedikit lebih lama menikmati ilusi-ilusi ini, ijinkan aku untuk selalu dapat membayangkan betapa cantiknya dirimu dengan rambut pendekmu yang lucu nan seksi, ijinkan aku hidup bersamamu di sini, di dalam imajinasiku sedikit lebih lama lagi. Ijinkan dirimu untuk menemaniku untuk memasang kembali bagian-bagian dari hidupku (yang telah aku singkirkan hanya untuk bisa bersamamu di dunia nyata) di dalam ilusi ini sedikit lebih lama lagi.

Boleh, ya?